MUJMAL DAN MUBAYYAN
Mujmal dan Mubayyan
![]() |
|||||
![]() |
|||||
![]() |
|||||
Disusun
Oleh:
Khoirotun
Layyinah (08)
Miftahul
Arifin (12)
Uyumatul Ummah (18)
Madrasah
Aliyah Negeri Bangkalan
Tahun
Pelajaran 2016/2017
Kata Pengantar
Puji
syukur kami panjatkan kehadirat Allah S.W.T Yang Maha Esa karena dengan rahmat,
karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang
“Mujmal dan Mubayyan”
ini dengan baik meskipun masih jauh dari kata sempurna. Dan juga kami ucapkan
terima kasih kepada pihak yang berpartisipasi dalam pembuatan makalah ini
khususnya kepada guru pembimbing kami.
Kami
sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta
pengetahuan kita mengenai
Mujmal dan Mubayyan. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa
di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh
sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah
yang telah kami buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang
sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun
orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan
kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun
dari Anda demi perbaikan makalah ini di waktu yang akan datang.
Bangkalan, 24 Januari 2017
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA
PENGATAR............................................................................................................. ii
DAFTAR
ISI ........................................................................................................................ iii
BAB
I : PENDAHULUAN
a.
Latar Belakang
.........................................................................................................
1
b.
Rumusan Masalah
.................................................................................................... 1
c.
Tujuan
...................................................................................................................... 1
BAB
II : PEMBAHASAN
1.
Pengertian
Mujmal dan Mubayyan ............................................................... 2
2.
Tingkatan
Bayan............................................................................................ 3
3.
Pendapat
Ulama Tentang Bayan………………………............. ………….. 6
BAB
III : PENUTUP
1.
Simpulan................................................................................................................... 10
2.
Saran ......................................................................................................................... 10
DAFTAR
PUSTAKA............................................................................................................. 11
BAB I
PENDAHULUAN
a.
LATAR
BELAKANG
Al-Quran dan hadits merupakan pedoman
bagi umat islam, setiap tindakan seorang muslim haruslah sesuai dengan
tuntunannya atau setidaknya tidak bertentangan dengan keduanya. akan tetapi
untuk memahami maksud yang terkandung dalam alquran dan hadits tidaklah semudah
yang kita pikirkan dengan akal, melainkan membutuhkan ilmu yang menjelaskan
kesamaran dan menyingkap maksud-maksud dalam al-quran dan hadits. Salah satu ilmu
tersebut adalah ilmu ushul fiqih.
Suatu pembahasan ushul
fiqih yang membantu memahami dan menjelaskan suatu makna adalah mujmal dan mubayyan. Pembahasan mengenai ini sangat penting, karna
untuk mendapatkan suatu pemahaman yang mantap memerlukan pengetahuan yang luas
mengenai suatu makna perkataaan yang teliti.
Dengan mengetahui mujmal dan mubayyan ini kita dapat
mengklasifikasikan yang mana perkataan yang masih memerlukan penjelasan lebih
lanjut karena masih bersifat umum dan jelas sehingga maksudnya dapat di uraikan
dengan jelas.
b.
RUMUSAN
MASALAH
1.
Bagaimanakah
pengertian mujmal dan mubayyan?
2.
Bagaimana
tingkatan atau macam-macam bayan?
3.
Bagaimana
pendapat ulama tentang pembagian bayan?
c.
TUJUAN
1.
Untuk
mengetahui pengertian mujmal dan mubayan
2.
Untuk
mengetaui tingkatan atau macam-macam bayan
3.
Untuk
mengetaui pendapat ulama tentang pembagian bayan
1
BAB
II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian Mujmal dan Mubayyan
Mujmal secara bahasa : (المبهم والمجموع)
mubham (yang tidak diketahui) dan yang terkumpul. Sedangkan secara istilah :
“Lafadz yang sighatnya tidak (jelas)
menunjukkan apa yang dimaksud”
Lafadz
mujmal dapat terjadi pada :
a.
Lafadz
mufrad, baik itu bentuknya isim, fiil maupun huruf yang bentuknya isim, seperti
lafadz “quru” yang bisa berarti suci dan haid. Yang berbentuk fiil sepeti
lafadz “as’as” yang bisa berarti datang dan pergi. Yang berbentuk huruf
seperrti “al-wau” bisa untuk ‘ataf dan awal kalimat atau sumpah.
b.
Susunan
kalimat, seperti firman Allah S.W.T dalam surat Al-Baqarah ayat 237
وَإِن طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِن قَبْلِ أَن تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ إَلاَّ أَن يَعْفُونَ أَوْ يَعْفُوَ الَّذِي بِيَدِهِ عُقْدَةُ النِّكَاحِ وَأَن تَعْفُواْ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَلاَ تَنسَوُاْ الْفَضْلَ بَيْنَكُمْ إِنَّ اللّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ -٢٣٧-
Artinya : “Dan jika kamu menceraikan mereka sebelum kamu sentuh
(campuri), padahal kamu sudah menentukan maharnya, maka (bayarlah) seperdua
dari yang telah kamu tentukan, kecuali jika mereka (membebaskan) atau
dibebaskan oleh orang yang akad nikah ada di tangannya. Pembebasan itu lebih
dekat kepada takwa. Dan janganlah kamu lupa kebaikan di antara kamu. Sungguh,
Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”
Yang dimaksud dengan أَوْ يَعْفُوَ الَّذِي بِيَدِهِ عُقْدَةُ النِّكَاحِ dalam ayat tersebut belum jelas, apakah
wali atau suami.
Mubayyan secara
bahasa (etimologi) : (المظهر والموضح) yang ditampakkan dan yang dijelaskan.
Sedangkan secara terminologi Mubayyan adalah seperti yang didefinisikan oleh
al-Asnawi sebagai berikut :
“Mubayyan adalah
lafaz yang jelas (maknanya) dengan sendirinya atau dengan
lafadz lainnya”
Ada yang mendifinisikan Mubayyan
sebagai berikut:
ما يفهم المراد منه، إما بأصل
الوضع أو بعد التبيين
“Apa yang
dapat difahami maksudnya, baik dengan
asal peletakannya atau setelah adanya
penjelasan.”
Contoh yang dapat difahami
maksudnya dengan asal peletakannya : lafadz langit (سماء), bumi (أرض), gunung (جبل),
adil (عدل), dholim (ظلم), jujur (صدق). Maka kata-kata ini dan yang semisalnya
dapat difahami dengan asal peletakannya, dan tidak membutuhkan dalil yang lain
dalam menjelaskan maknanya.
2
Dari paparan diatas dapat disimpulkan, lafadz mujmal itu masih
membutuhkan Bayan (penjelas), sehingga dapat diketahui maksudnya secara jelas.
Selama dalam keadaan mujmal, maka hukumnya ditagguhkan sampai ada Bayan (penjelas).
2.
Tingkatan Bayan
Al-Bayan artinya ialah
penjelasan. Maksudnya
ialah menjelaskan lafadz atau susunan yang mujmal.
البيان اخراج الشيئ من حيز الاشكال الى حيز التجلى .
“Bayan ialah
mengeluarkan sesuatu dari tempat yang sulit kepada tempat yang jelas”.
a.
Bayan
dengan perkataan
Disebut juga sebagai bayan penguat.
Contohnya :
وَأَتِمُّواْ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلّهِ فَإِنْ أُحْصِرْتُمْ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ وَلاَ تَحْلِقُواْ رُؤُوسَكُمْ حَتَّى يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضاً أَوْ بِهِ أَذًى مِّن رَّأْسِهِ فَفِدْيَةٌ مِّن صِيَامٍ أَوْ صَدَقَةٍ أَوْ نُسُكٍ فَإِذَا أَمِنتُمْ فَمَن تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ ذَلِكَ لِمَن لَّمْ يَكُنْ أَهْلُهُ حَاضِرِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَاتَّقُواْ اللّهَ وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ -١٩٦-
Artinya : “Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah
karena Allah. Tetapi jika kamu terkepung (oleh musuh), maka (sembelihlah) hadyu
yang mudah didapat, dan jangan kamu mencukur kepalamu, sebelum hadyu sampai di
tempat penyembelihannya. Jika ada di antara kamu yang sakit atau ada gangguan
di kepala-nya (lalu dia bercukur), maka dia wajib berfidyah, yaitu berpuasa,
bersedekah atau berkurban. Apabila kamu dalam keadaan aman, maka barangsiapa
mengerjakan umrah sebelum haji, dia (wajib menyembelih) hadyu yang mudah
didapat.Tetapi jika dia tidak mendapatkannya, maka dia (wajib) berpuasa tiga
hari dalam (musim) haji dan tujuh (hari) setelah kamu kembali. Itu seluruhnya
sepuluh (hari). Demikian itu, bagi orang yang keluarganya tidak ada
(tinggal) di sekitar Masjidil Haram. Bertak-walah kepada Allah dan ketahuilah
bahwa Allah sangat keras hukuman-Nya”.
Allah
SWT menjelaskan lafaz سبعة ( tujuh ) pada surat al-Baqarah ayat 196, tentang
jumlah hari puasa bagi yang tidak mampu membayar dam (hadyu) pada haji
Tamattu’. Dalam bahasa Arab lafaz tujuh sering ditujukan kepada arti ‘banyak’
yang bisa lebih dari tujuh. Untuk menjelaskan ‘tujuh’ itu betul-betul tujuh
maka Allah SWT mengiringi dengan firman-Nya “itu sepuluh hari yang sempurna”.
3
b.
Bayan dengan perbuatan: seperti
penjelasan Nabi saw. pada cara-cara shalat dan haji:
صلو
كما رأيتمونى أصلى (رواه البخارى)
“Shalatlah
kamu sebagaimana kamu melihat aku shalat”
Cara
shalat ini dijelaskan dengan perbuatan oleh Nabi saw, yakni beliau mengerjakan
sebagaimana cara beliau mengerjakan sambil menyuruh orang menirunya. Karena
itu, penjelasan semacam ini disebut bayan dengan perbuatan.
c.
Bayan
dengan Isyarat,
Contohnya penjelasan Rasulullah SAW
tentang keharaman emas
dan perak bagi kaum laki-laki. Beliau bersabda :
“sesungguhnya dua (barang) ini haram atas umatku yang
laki-laki”
d.
Bayan Taqrir
Yaitu
“keterangan yang didatangkan oleh As-Sunnah untuk menambah kokoh apa yang telah
diterangkan oleh Al-Qur’an. Contohnya adalah sabda Nabi s.a.w. :
صوموا لرؤيته و افطروا لرؤيته.
Artinya
: “Berpuasalah kamu sesudah melihat bulan dan berbukalah kamu sesudah
melihatnya”.
Hadits
ini menguatkan firman Allah s.w.t. Yaitu :
شَهْرُ
رَمَضَانَ الَّذِيَ أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِّنَ
الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَن كَانَ
مَرِيضاً أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللّهُ
بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُواْ الْعِدَّةَ
وَلِتُكَبِّرُواْ اللّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ -١٨٥-
“Bulan
Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai
petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan
pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara
kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia
berpuasa pada bulan itu”. (Q.S. Al-Baqarah : 185)
e.
Bayan
dengan diam setelah ada pertanyaan
Contohnya kisah Uwaimir al-ajalany ketika bertanya
kepada rasul tentang istrinya yang kelihatannya berselingkuh, maka rasul diam
tidak memberi jawaban. Hal ini menunjukkan tidak ada hukum Li’an. Setelah turun
ayat Li’an Nabi bersabda kepada Uwaimir
Artinya : “ Sesungguhnya telah diturunkan ayat Al-Quran
mengenai kamu dan istrimu, dan Nabi menjalankan li’an antara keduanya.
4
TAKHIRUL
BAYAN ( mengundurkan Bayan )
Mengundurkan bayan ini ada dua
macam :
Ø Mengundurkan
dari waktu yang dibutuhkan
Ø Mengundurkan
bayan dari waktu turunnya perintah/khithab.
a. Mengundurkan penjelasan dari waktu yang
dibutuhkan :
تاخير
البيان عن وقت الحاجة لا يجوز
Artinya :
“Mengundurkan penjelasan dari waktu
dibutuhkan itu tidak dibolehkan”.
Kalau
mengundurkan penjelasan ini terjadi, berarti membolehkan mengamalkan sesuatu
yang mujmal sebelum ada bayan, tegasnya mengamalkan sesuatu dengan cara yang
tidak sesuai dengan yang dikehendaki syara. Misalnya Fatimah binti Hubaisy
datang kepada Rasulullah s.a.w. kemudian bertanya :
يا رسول ا
لله انئ امراة استحاض فلا اطهر افادع الصلا ة فقال لها ص م . لا انما ذالك
عرق و
ليست بالحيضة فاذا اقبلت الحيضة فدعى الصلاة و اذا ادبرت فاغسلى عنك الدم و صلى ,
( متفق عليه )
Artinya :
”Wahai Rasulullah, saya ini
perempuan yang mengeluarkan darah istihadlah, berarti saya tidak dalam keadaan
suci terus-menerus, bolehkah saya meninggalkan shalat ? Nabi bersabda : “Jangan, karena hal itu hanya penyakit
saja ( ‘irqun = keringat ) dan bukan haidl.
Apabila datang waktu haidl tinggalkanlah shalat, dan apabila habis waktunya
cucilah darah itu dari kamu ( mandilah ) dan shalatlah”. ( HR Bukhari dan Muslim )
Dari hadits ini tidak ada
penjelasan ( bayan ) bahwa perempuan yang istihadlah itu wajib bersuci untuk
setiap kali shalat. Sebab kalau mereka diwajibkan bersuci setiap kali shalat,
niscaya Rasulullah s.a.w. telah memberikan penjelasan di waktu itu juga, karena
pada saat itulah penjelasan dibutuhkan.
5
b. Mengundurkan
bayan dari waktu khithab :
تاخير
البيان عن وقت الخطاب يجوز .
“Mengundurkan penjelasan dari waktu khithab dibolehkan”.
Artinya,
pada waktu turunnya perintah belum ada penjelasan, misalnya firman Allah :
فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ -١٨- ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنَا بَيَانَهُ -١٩-
Artinya :
“Apabila Kami bacakan (Al- Qur’an ) ikutilah bacaannya. Kemudian
sesungguhnya atas tanggungan Kamilah penjelasannya. ( Al-Qiyamah : 18-19 )
Lafadz “tsumma : kemudian” berarti kemudian dengan ada jarak
waktu antara khithab dan penjelasan. Dengan demikian mengundurkan bayan itu
boleh, baik mubayyannya dhahir atau tidak. Misalnya menerangkan cara shalat
sesudah badanya khithab “aqiimush
shalata : dirikanlah
olehmu akan shalat” dengan
bayan yang datangnya kemudian dari Nabi s.a.w. yang disabdakan dalam hadits “shalluu kamaa ra-aitumuuni ushalli”.
3. Pendapat
Ulama Tentang Bayan
a. Menurut pendapat ahlur Ra’yi,
Penerangan Al-Hadits terhadap Al-Qur’an terbagi tiga :
·
Bayan Taqrir, yaitu “keterangan yang didatangkan oleh As-Sunnah untuk
menambah kokoh apa yang telah diterangkan oleh Al-Qur’an. Contohnya adalah sabda Nabi s.a.w. :
صوموا لرؤيته و افطروا لرؤيته.
·
Bayan Tafsir
yaitu Menerangkan apa
yang kira-kira tak mudah diketahui (tersembunyi pengertiannya), seperti
ayat-ayat yang mujmal dan yang musytarak fihi.
Diantara
contoh bayan tafsir bagi mujmal, ialah : seperti hadits yang menerangkan
kemujmalan Ayat-ayat shalat, Ayat-ayat zakat, Ayat-ayat haji. Dalam
ibadat-ibadat ini, Ayat Al-Qur’an, mujmal.
Diperintahkan kita bershalat, tetapi tidak diterangkan tata caranya; tidak
diterangkan rukun-rukunnya, tidak diterangkan waktu-waktunya. Semua yang
tersebut ini diterangkan Nabi dengan sabdanya :
6
صلوا كما رايتمونى اصلى .
“Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku menjalankan
shalat. ( HR. Bukhari )
·
Bayan Tabdiel, bayan nasakh
yakni : “Mengganti
sesuatu hukum, atau menasakhkannya”.
Menasakhkan
Al-Quran dengan Al-Qur’an menurut
ulama ahlul ra’yi, boleh. Menasakhkan Al-Quran dengan As-Sunnah, boleh; kalau
As-Sunnah itu mutawatir, masyhur, atau mustafidl.
Mengkhususkan umum Al-Qur’an dengan hadits, mereka tidak
membolehkannya; terkecuali kalau hadits itu mutawatir atau masyhur. Abu
Haniefah berpendapat, bahwa :’am yang disepakati menerimanya lebih utama kita
amalkan daripada khash yang diperselisihkan menerimanya.
Demikian
pendapat Abu Haniefah menurut penjelasan Kasyful Asrar.
Karena itu,
Abu Haniefah memegangi umum hadits :
ماسقته السماء ففيه العشر .
“Apa yang disiraminya oleh hujan, maka padanya satu persepuluh”.
Beliau
mendahulukan hadits atas hadits :
ليس فيما دون خمسة اوسق صدقة .
“Tak ada pada yang kurang dari lima wasaq, zakatnya”.
b. Malik
berpendirian,
bahwa bayan
Al-hadits itu terbagi kepada :
·
Bayan Taqrier, yaitu : menetapkan dan mengokohkan
hokum-hukum Al-Qur’an; bukan
mentaudliehkan, bukan mentaqyidkan mutlaq dan bukan mentakhshiskan ‘am, seperti :
صوموا لرؤيته و افطروا لرؤيته.
“Berpuasalah kamu sesudah melihat bulan dan berbukalah kamu
sesudah melihatnya”.
·
Bayan Taudlieh (Tafsir), yaitu : menerangkan
maksud-maksud ayat, seperti : hadits-hadits yang menerangkan maksud-maksud ayat
yang difahamkan oleh para sahabat berlainan dengan yang dimaksudkan oleh ayat
sendiri. Contohnya :
7
“Dan segala mereka yang membendaharakan emas dan perak
dan mereka tidak membelanjakan pada jalan Allah, maka gembirakanlah mereka
dengan azab yang amat pedih”. (Q.S.
At-Taubah : 34)
Manakala
ayat ini diturunkan, para sahabat merasa sangat berat melaksanakan kandungan
ayat. Mereka bertanya kepada Nabi s.a.w., maka Nabi menjawab : “Allah tidak
memfardlukan zakat, melainkan supaya menjadi baik harta-hartamu yang sudah kamu
zakati”. Mendengar itu Umar r.a. mengucapkan takbir.
·
Bayanut Tafshil, yaitu : menjelaskan mujmal Al-Qur’an, sebagai hadits yang
mentafshilkan kemujmalan firman Allah :
اقيمواالصلوة .
“Dirikanlah olehmu akan sholat”.
·
Bayanul basthy (tabsiet bayan takwiel), yakni :
memanjangkan keterangan bagi apa yang diringkaskan keterangannya oleh Al-Qur’an, seperti ayat :
وَعَلَى الثَّلاَثَةِ الَّذِينَ خُلِّفُواْ حَتَّى إِذَا ضَاقَتْ عَلَيْهِمُ الأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ وَضَاقَتْ عَلَيْهِمْ أَنفُسُهُمْ وَظَنُّواْ أَن لاَّ مَلْجَأَ مِنَ اللّهِ إِلاَّ إِلَيْهِ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ لِيَتُوبُواْ إِنَّ اللّهَ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ -١١٨-
“Dan atas tiga orang yg tidak mau pergi, yang tinggal
di tempat, tidak turut pergi ke medan peperangan”. ( Q.S. At-Taubah : 118 )
Kisah yang
dimaksudkan oleh Ayat ini telah direntang panjang oleh hadits yang diriwayatkan
oleh Al-Bukhary, Muslim, Abu Dawud, An Nasa’i, At-Tirmidzy, dan Ibnu Majah dengan mensyarahkan sebab Nabi
s.a.w. menegah orang yang berbicara dengan orang yang ketiga itu.
Masuk ke
dalam bayan taudlieh, menentukkan salah satu kemuhtamilan, mengqaidkan yang
mutlak dan mentakhshiskan yang umum.
·
Bayan Tasyrie, yakni : mewujudkan sesuatu hokum yang
tidak tersebut dalam Al-Qur’an, seperti
menghukum dengan bersandar pada seorang saksi dan sumpah apabila simuddai tiada
mempunyai dua orang saksi; dan seperti ridla’ mengharamkan pernikahan mengingat hadits :
يحرم من الرضاعة مايحرم من النسب .
“Haram lantaran ridla’ apa yang
haram lantaran nasab(keturunan)”.
Sebagian
Ulama berpendapat, bahwa segala hukum yang dilengkapi Sunnah, kembali kepada
Al-Qur’an, tidak ada yang berdiri sendiri.
8
c. AsySyafi’y
di antara ulama ahlil atsar menetapkan, bahwa penjelasan Al-Hadits
terhadap Al-Qur’an terbagi
lima, yaitu :
·
Bayan Tafshiel, yaitu menjelaskan ayat-ayat yang
mujmal (yang sangat ringkas petunjuknya)
·
Bayan Takhshish, yaitu menentukkan sesuatu dari umum
ayat.
·
Bayan Ta’yin, yaitu
menentukan mana yang dimaksud dari dua tiga perkara yang mungkin dimaksudkan.
·
Bayan Tasyri’, yaitu menentukan sesuatu hukum yang
tidak didapati dalam Al-Quran.
·
Bayan Nasakh, yaitu menentukan mana yang dinasikhkan
dan mana yang dimansukhkan dari ayat-ayat Al-Qur’an yang kelihatan berlawanan.
d. Ahmad ibn
Hanbal dalam soal ini sepaham dengan gurunya Asy-Syafi’y, bahkan lebih keras lagi
pendiriannya dalam menentukan garis-garis penerangan As-Sunnah.
Ibnul
Qaiyim telah menerangkan pendapat Ahmad dalam soal ini dalam kitabnya I’lamul Muwaqqi’ien, sebagai berikut :
Keterangan
As-Sunnah terhadap Al-Quran terbagi Empat :
·
Bayan Ta’kied (bayan taqrier), yaitu di kala As-Sunnah
itu bersesuaian benar petunjuknya dengan petunjuk Al-Qur’an, yakni menerangkan apa yang
dimaksudkan oleh Al-Qur’an.
·
Bayan tafsier, yaitu menjelaskan sesuatu hukum Al-Qur’an,
yakni menerangkan apa yang dimaksudkan oleh Al-Quran.
·
Bayan Tasyrie’,
yaitu Mendatangkan sesuatu hukum yang didiamkan Al-Qur’an (yang tidak
diterangkan hukumnya)
·
Bayan Takhshish dan Taqyid, yakni mengkhususkan Al-Qur’an dan mengqaidkannya. Apabila
didapati hadits yang mengkhususkan Al-Qur’an, dikhususkanlah umum itu, baik hadits yang
mengkhususkan itu mutawatir, masyhur, mustafidl ataupun ahad.
Tegasnya, Sunnah itu , menurut
pendapat Ahmad, mentakhshiskan Al-Quran, mengqaidkannya dan mentafshilkannya.
Ringkasnya, Ahmad berpendapat, bahwa As Sunnah mentafsirkan dhahir Al-Quran dan
bahwa hadits ahad itu dapat mentakhshiskan Al-Quran.
9
BAB III
PENUTUP
1. Simpulan
·
Mujmal secara bahasa : (المبهم والمجموع) mubham (yang
tidak diketahui) dan yang terkumpul.
·
Mujmal dapat dijelaskan sebagai berikut. Pertama,
al-Mujmal adalah lafazh atau kata yang tidak jelas ( global ) artinya. Kedua
disamping tidak jelas artinya, tidak pula terdapat petunjuk atau qorinah yang
menjelaskan arti global dari kata tersebut. Jadi ketidak jelasan atau kesamaran
arti kata al-Mujmal berasal dari kata itu sendiri bukan karena factor eksternal
dari luar kata tersebut. Ketiga, jalan untuk mengetahui maksud Mujmal tidak
dalam batas kemampuan akal manusia, tetapi satu-satunya jalan untuk memahami
adalah melalui penjelesan dari yang me-mujmalkan atau dalam hal ini Syari.
·
Ulama Ushul fiqih sependapat bahwa lafaz yang Mujmal
tidak bisa dijadikan sebagai hujjah, sebelum ada dalil lain yang
menjelaskannya.
·
Mubayyan secara bahasa : (المظهر والموضح) yang ditampakkan
dan yang dijelaskan.
·
Menurut istilah Ulama Ushul fiqih Mubayyan adalah apa
yang dapat difahami maksudnya, baik dengan asal peletakannya atau setelah
adanya penjelasan.
·
Ulama Ushul fiqh sependapat bahwa tidak boleh ada
penundaan bayan dari waktu pelaksanaannya. Alasannya, tidak mungkin Allah SWT
mengungkap suatu hukum yang mujmal kemudian masuk waktu pelaksanaannya,
sementara bayan terhadap hukum yang mujmal itu belum ada. Hal ini tidak pernah
dan tidak akan dijumpai dalam syari’at Islam.
2.
Saran
Mungkin
sedikit pemaparan yang bisa kami uraikan perihal tentang Mujmal dan Mubayyan,
pada dasarnya sangatlah banyak kaidah-kaidah tentang itu,dan jika di uraikan
pastilah banyak sekali. Akan tetapi hanya sedikit yang bisa kami sajikan untuk
para pembaca, semoga bermanfaat dan menambah wawasan lagi buat kita. Setelah mempelajari tentang mujmal dan mubayan
sebaiknya kita dapat lebih hati-hati dalam menafsirkan al-quran.
10
DaftaD pudpust nya kok ngk ada?
BalasHapus